Click here for Myspace Layouts

Jumat, 05 November 2010

Emansipasi wanita dalam islam


Jazirah Arab dan sebagian besar belahan dunia pada tanggal 12 Rabiul’awal, yang bertepatan dengan bulan Agustus 570M, berada dalam periode kemanusiaan yang tergelap. Harkat dan martabat manusia diukur dari seberapa kuat adan kayanya seseorang. Perempuan, yang menempati posisi terlemah dalam kehidupan masyarakat, berada dalam posisi terendah strata sosialnya. Keberadaannya seniali dengan harta dagangan yang bisa diperjualbelikan dan diwariskan, bahkan kelahirannya dianggap sebagai sebuah aib yang perlu ditutupi. Maka penguburan hidup-hidup bayi perempuan yang baru lahir menjadi pemandangan lumrah dalam kehidupan masyarakat Arab.

Di luar Arab pun, keadaan tidak jauh berbeda. Romawi dan Persia, misalnya. Pada dua kerajaan adikuasa pada masa itu, nasib perempuan tidak lebih baik. Banyak wanita menjadi budak belian dan pemuas nafsu, atau korban persembahan bagi dewa-dewa. Seperti diilustrasikan oleh Al-Abrasyiy dalam buku ”Keagungan Muhammad” (1985), pada tahun 586M (sekitar 16 tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad) di Perancis pernah diselenggarakan suatu sidang yang membahas apakah wanita itu termasuk manusia atau bukan.
Hanya sedikit yang mengetahui bahwa pada tanggal 12 Rabiul’awal tersebut lahir seseorang yang beberapa puluh tahun kemudian akan mengangkat derajat kaum wanita ke puncak keangungan. Menjadikannya tiang negara dan meletakkan surga di bawah telapak kakinya.
Muhammad, yang jauh sebelum gerakan feminisme dan emansipasi melanda dunia, telah lebih dulu mencetuskan gerakan kesetaraan martabat manusia. Ribuan tahun sebelum Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stan menggelar konvensi yang membahas penyetaraanhak sosial, sipil, dan agama kaum wanita di Amerika,yang menghasilkan satu deklarasi yang dikenal dengan nama ”The Declaration of Sentiment”. Muhammad telah memperkenalkan suatu konsep yang indah. Yakni, satu-satunya hal yang bisa menbedakan manusia satu dengan yang lain, yaitu ketakwaannya kepada Allah, Tuhan semesta alam. Allah berfirman, ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari (jenis) laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS Al-Hujurat 13).
Di luar ketakwaan, Islam memberlakukan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan dalam hampir semua aspek kehidupan. Sebuah hal baru yang sebelumnya tidak dikenal di panggung sejarah mana pun. Kebebasan baru diperoleh kaum perempuan untuk belajar, berinteraksi sosial, mendapatkan warisan, termasuk dalam mencari penghidupan dan memiliki kekayaan sendiri. Firman Allah, ”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. Karena, bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan juga ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS An-Nisa 32).
Beberapa perbedaan kecil yang diberlakukan bagi laki-laki dan perempuan tidak lain merupakan anugerah dari sifat Rahman dan Rahimnya Sang Khalik, yang maha memahami batas maksimum masing-masing ciptaan-Nya.dan hanya yang terbaiklah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, meski terkadang anugerah tersebut diterima dengan salah sangka. Syekh Ibnu Athaillah As-Sakandari, dalam karyanya yang terkenal ”Al-Hikam”, berkata, ”Jika seorang hamba tidak berbaik sangka kepada Allah karena kebaikan sifat-sifat-Nya, hendaklah berbaik sangka kepada-Nya karena nikmat dan rahmat yang telah diterima dari-Nya”.
Risalah Muhammad juga memberikan apresiasi yang sangat besar kepada para wanita yang berprestasi dan menjadi ikon peradaban dan perubahan. Misalnya Hajar, ibunda Nabi Ismail, yang perjuangannya untuk menyelamatkan anaknya diabadikan dalam ritus haji; Asiyah, istri Firaun, yang mengasuh Musa; Maryam, perawan suci ibunda Nabi Isa; Khadijah, wanita muslimah pertama yang mengorbankan jiwa, raga, dan harta miliknya untuk menegakkan risalah Islam; Fatimah Az-Zahra, pewaris mahkota spiritual Rasulullah; Aisyah, yang menjadi salah satu rujukan fatwa setelah Rasul Wafat; dan masih banyak lagi yang diabadikan dengan tinta emas dalam kitab suci dan literatur-literatur sejarah Islam. Belakangan muncul nama-nama seperti Fathimah Memissi dan Aisyah Abdurrahman Bintusy-Syathi’, yang melanjutkan tradisi intelektual dan spiritual kaum muslimah.
Dari mereka, sepatutnya seorang muslimah berkaca bahwa perubahan dan kemajuan yang seharusnya digagas oleh kaum wanita adalah kemajuan yang bermuara padatujuan ”li i’lai kalimatillah”, meninggikan kalimat Allah, bahwa kebebasan yang diperjuangkan adalah kebebasan yang berada dalam koridor ketakwaan. Kesetaraan hak dengan kaum laki-laki, baik dalam hal belajarmaupun bekerja, misalnya, adalah dalam rangka membangun kapasitas diri untuk mengemban tugas suci berupa amanah Allah menjaga keberlangsungan lahirnya manusia-manusia yang berkualitas. Bukan kebebasan yang kebablasan sehingga justru semakin menenggelamkan wanita dari keluhuran nilai-nilai kemanusiaannya sendiri. (Judul asli “Maulid dan Wanita”, Alkisah 09/Tahun 3/2005)

dikutip dari ; http://radmarssy.wordpress.com/2009/07/03/emansipasi-wanita-dalam-islam/

0 komentar:

Posting Komentar

Followers

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites